Para pedagang menilai, tarif sewa lapak yang ditetapkan oleh pihak panitia dan event organizer (EO) terlalu tinggi, hingga memberatkan pelaku usaha kecil di Kabupaten Muaro Jambi sebagai tuan rumah penyelenggara.
Sejumlah pedagang mengeluhkan bahwa biaya sewa tenda yang disediakan oleh panitia mencapai jutaan rupiah per unit. Harga itu dinilai tidak sebanding dengan potensi keuntungan yang bisa diperoleh selama kegiatan MTQ berlangsung.
“Dengan nominal sewa tenda atau stan yang dipersiapkan oleh panitia, kami tidak mampu untuk menyewanya,” ujar Romlah, salah satu pelaku usaha asal Muaro Jambi, saat ditemui wartawan.
“Tarif yang begitu besar tidak terjangkau bagi kami pedagang kecil. Kalau begini ceritanya, bukannya meningkatkan ekonomi masyarakat malah menyiksa pelaku usaha lokal,” tegasnya.
Romlah menilai, semestinya momentum MTQ menjadi sarana bagi pemerintah daerah untuk mendorong geliat ekonomi masyarakat. Namun yang terjadi justru sebaliknya — harga sewa lapak yang tinggi membuat banyak pedagang kecil urung berpartisipasi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, pihak panitia melalui EO menyiapkan beberapa jenis tenda, termasuk tenda berbentuk seperti tenda acara pernikahan dengan harga sewa mencapai Rp5 juta per unit. Tenda-tenda tersebut disediakan untuk pelaku UMKM maupun pengusaha lokal yang ingin berjualan di area MTQ.
Kepala Bidang Perdagangan Dinas Koperindag Kabupaten Muaro Jambi, Samsul, ketika dikonfirmasi, membenarkan bahwa pengadaan dan pengelolaan tenda dilakukan oleh pihak EO karena keterbatasan anggaran dinas.
“Kita sudah mempersiapkan tenda sanavil dan tenda kerucut untuk kabupaten/kota melalui dana APBD. Namun karena anggaran tidak cukup, akhirnya pihak EO yang menyediakannya,” jelas Samsul.
“Tenda untuk umum dan pelaku usaha sifatnya komersial dan berbayar. Kami tidak ikut campur karena sistemnya langsung antara pedagang dengan pihak EO,” tambahnya.
Menurut Samsul, terdapat sekitar 14 unit tenda komersial yang disiapkan untuk pelaku UMKM di area MTQ. Ia juga menyebutkan adanya potongan harga bagi pedagang lokal dari Muaro Jambi, meskipun besarannya tidak dijelaskan secara rinci.
Selain itu, Pelibatan EO Dipertanyakan Yang lebih mengejutkan, ternyata pelibatan pihak EO dalam penyediaan lapak tersebut belum memiliki dasar hukum yang kuat. Samsul mengakui bahwa pelaksanaan teknis oleh EO hanya berlandaskan “surat pesanan” dari Dinas Koperindag, tanpa ada Surat Keputusan (SK) resmi dari Bupati atau payung hukum lain yang mengatur mekanisme kerja sama tersebut.
“Dasar hukumnya hanya surat pesanan dari pihak dinas. SK Bupati atau dokumen resmi lainnya memang belum ada,” ujar Samsul.
“Namun nanti akan diurus izinnya lagi dalam proses penyelenggaraan,” imbuhnya.
Ketiadaan dasar hukum yang jelas ini menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan akuntabilitas penggunaan area publik dalam ajang besar tingkat provinsi. Apalagi, pihak EO disebut memungut biaya langsung dari pedagang tanpa pengawasan ketat dari pemerintah daerah.
Banyak kalangan menilai, kebijakan penyewaan tenda yang mahal dan dikelola oleh pihak swasta justru menutup kesempatan bagi masyarakat lokal untuk menikmati manfaat ekonomi dari kegiatan MTQ. Sejumlah pelaku usaha kecil kini memilih untuk tidak berjualan di area resmi MTQ karena takut merugi.
“Kalau kami harus bayar Rp5 juta, sementara belum tentu ramai pembeli, ya kami mundur saja,” keluh salah seorang pedagang makanan ringan yang enggan disebutkan namanya.
Padahal, pelaku UMKM berharap MTQ ke-54 ini menjadi ajang yang membawa dampak positif bagi ekonomi rakyat, terutama di tengah kondisi usaha yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi dan inflasi daerah yang masih terasa.
Disisi lain, Sejumlah tokoh masyarakat mendesak Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi untuk segera meninjau kembali kebijakan tersebut. Mereka menilai, komersialisasi berlebihan dalam event keagamaan seperti MTQ justru mencederai semangat kebersamaan dan pemberdayaan ekonomi umat.
“MTQ bukan hanya lomba membaca Al-Qur’an, tapi juga momentum sosial dan ekonomi. Jika rakyat kecil malah tersingkir karena biaya mahal, ini perlu dievaluasi secara serius,” ujar salah satu tokoh masyarakat setempat.
Pemerintah daerah diminta untuk turun tangan memastikan agar pelaksanaan MTQ benar-benar memberikan dampak ekonomi yang inklusif dan adil bagi masyarakat, bukan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Hingga berita ini diturunkan, panitia MTQ ke-54 tingkat Provinsi Jambi belum memberikan klarifikasi resmi terkait penetapan harga sewa lapak yang dinilai memberatkan tersebut. Sementara itu, para pelaku usaha kecil di Muaro Jambi masih menunggu kebijakan baru yang lebih berpihak kepada rakyat kecil — agar semangat syiar Islam melalui MTQ juga selaras dengan semangat keadilan ekonomi daerah. (Asz)

0 Komentar